
JASMINE WOMEN (Mo Li Hua Kai)
(2004)
Sutradara: Hou Yong
Durasi: 130 menit
Pemain: Zhang Ziyi, Joan Chen
Dengan setting waktu terbentang selama 50 tahun, Jasmine Women menghadirkan tiga kisah tentang tiga generasi wanita RRC dan perjuangan hidupnya: Mo, Li, dan Hua (ketiga suku kata ini membentuk arti ‘bunga melati’). Zhang Ziyi memerankan tiga tokoh wanita yang termuda, sedangkan Joan Chen (The Last Emperor) memerankan dua tokoh yang lebih tua.
PLOT (spoiler allert!)



Bagian ketiga berjudul ‘Anak Perempuan’ berlatar tahun 1980-an. Hua yang bersekolah di luar kota kembali ke rumah Mo dan memperkenalkan Xiao Du sebagai kekasihnya, padahal Mo sendiri lebih menginginkan Hua menikahi anak kenalannya. Sebelum Xiao Du pergi untuk melanjutkan kuliah, Hua dan Xiao Du diam-diam menikah. Mereka menjalani hubungan jarak jauh. Xiao Du jarang pulang, dan ketika Hua akhirnya mengandung, Xiau Du mengajukan perceraian. Sekalipun kini tidak bersuami dan neneknya telah meninggal, Hua memutuskan untuk tetap melahirkan bayinya. Hua mempersiapkan hari persalinannya sebaik mungkin, meskipun akhirnya ia tetap harus melahirkan sendiri di jalanan. Beberapa tahun kemudian, Hua dan anak perempuannya telah menemukan rumah yang baru.
REVIEW
Jasmine Women adalah film perdana Hou Yong sebagai sutradara. Sebelumnya, Hou Yong lebih dikenal sebagai sinematografer (director of photography) yang ikut andil dalam karya-karya sineas Zhang Yimou (Hero, Happy Times, The Road Home) dan Tian Zhuangzhuang (The Blue Kite). Tak heran, Jasmine Women tampil menawan dengan sinematografi apik, dan ketiga bagian film ini memiliki nuansa khasnya masing-masing. Naskahnya sendiri diadaptasi dari novel karya Su Tong (Raise the Red Lantern) yang pertama kali dibaca Hou Yong 10 tahun sebelumnya, dan kala itu dalam benak Hou Yong terbesit aktris kawakan Gong Li sebagai pemeran utamanya.
Dalam wawancara dengan majalah Variety, Hou Yong menjelaskan alasannya memasang Zhang Ziyi untuk memerankan ketiga karakter wanita lintas generasi yang diangkat dalam Jasmine Women, “Saya ingin penonton, melalui ekspresi di mata maupun ulas senyumnya, menemukan sesuatu yang diturunkan dari ibunya dan membiarkan (penonton) berpikir lebih”. Zhang Ziyi sendiri, walaupun dalam film ini masih banyak kekurangannya, meraih Golden Rooster Award sebagai aktris terbaik untuk kerja kerasnya. Mengenai hal ini Hou Yong berkomentar, “…(film ini) menghadirkan (Zhang Ziyi) yang baru, berbeda jauh dari apa yang Anda ingat sebelumnya – teen idol, gadis lugu, gadis pejuang, dsb.”
Jasmine Women menerima cukup banyak kritik positif, walaupun ada juga beberapa komentar pedas yang diterimanya. Penulis sendiri menemukan kenikmatan film ini dari penggambaran era 30-an yang romantik, meskipun jalinan cerita bagian ketiga (tahun 1980-an) agak sulit dicerna secara logis (terutama ketika Hua melahirkan di tepi jalan).
Satu hal yang menarik adalah ketiga karakter wanita lintas generasi yang diceritakan dalam film ini digambarkan sebagai karakter-karakter yang keras kepala, punya kehendak bebas, dan berani mengambil keputusan sendiri. Hal ini cukup tidak lazim mengingat dalam sejarahnya, China adalah bangsa yang kurang memberikan ruang bagi kaum perempuannya untuk bebas mandiri. Dan ketiga karakter ini membuat kesalahan yang sama, yaitu: tidak menuruti nasihat orang tua. Perbedaannya terletak pada bagaimana ketiga karakter tersebut membereskan kembali kehidupannya yang berantakan.
Ada pula yang mengatakan bahwa kesalahan kedua wanita pertama adalah mereka menggantungkan kebahagiaan mereka pada pria-pria dalam hidup mereka. Sedangkan wanita terakhir berani untuk tidak bergantung pada pria demi memperoleh kebahagiaannya. Pendapat ini sejalan dengan semangat feminisme, bahwa eksistensi perempuan bukan ditentukan oleh keberadaan laki-laki. Namun perempuan, layaknya seorang manusia, patut dihargai sebagai dirinya sendiri.
Meskipun bukan film Mandarin terbaik yang pernah disaksikan oleh penulis, Jasmine Women adalah sebuah karya yang cukup unik. Sebagai debut penyutradaraan Hou Yong, Jasmine Women adalah perbandingan yang menarik bagi Raise the Red Lantern besutan Zhang Yimou yang sama-sama diadaptasi dari novel karya Su Tong. Dua film yang tak boleh dilewatkan ketika kita membicarakan feminisme. (nn)