Monday, May 10, 2010

My Fair Lady (1964)

MY FAIR LADY (1964)

Sutradara: George Cukor

Durasi: 171 menit

Pemain: Rex Harrison, Audrey Hepburn

Penulis: George Bernard Shaw (skenario), Alan Jay Lerner (musikal, film)

Musik: Frederick Loewe (musik), Alan Jay Lerner (syair)

Genre: Komedi romantis

Rating: G (USA)

My Fair Lady adalah sebuah film musikal yang diangkat dari naskah teater karya George Bernard Shaw (1919). Drama musikalnya sendiri telah sukses beredar di panggung-panggung Broadway dan West End (London) sejak 1956.

PLOT (spoiler allert!)

Berlatar London abad 19, Eliza Doolittle menjalani kehidupannya yang sederhana sebagai gadis penjual bunga. Pada suatu malam di musim panas yang diguyur hujan lebat, Eliza sedang menjajakan dagangannya di depan gedung pertunjukkan di Covent Garden sembari menyapa orang-orang kelas atas yang sedang menunggu taksi dengan logatnya yang udik dan tatabahasanya yang kacau balau. Henry Higgins – seorang profesor ahli bahasa yang arogan – mencatat semua fonetik yang dilafalkan Eliza, dan bertaruh dengan kenalan barunya, Colonel Pickering (yang juga adalah seorang ahli bahasa), bahwa dalam waktu beberapa bulan ia dapat memperbaiki tatabahasa dan logat Eliza yang kampungan hingga membuatnya layak diterima dalam pergaulan kaum elit di Inggris. Dengan kemampuan bahasa yang lebih baik, menurut Higgins, Eliza bahkan bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.

Eliza pun tergoda dan rela melakukan apa saja untuk berbahasa lebih intelek. Ia mendatangi tempat tinggal Higgins dan menawarkan bayaran 1 shilling untuk setiap pelajaran. Tentu saja bukan jumlah bayaran yang kecil ini yang membuat Higgins tertarik, melainkan tantangan dari Pickering yang sedang menginap di rumahnya. Pickering bahkan bersedia menanggung semua biaya pelajaran Eliza. Sejak hari itulah Eliza tinggal di rumah Higgins dan menjalani berbagai pelajaran, dengan berbagai peralatan aneh dan metode unik Sang Profesor.


Tiga hari kemudian, Alfred Doolittle – ayah Eliza yang oportunis – muncul di depan pintu rumah Higgins dan pada awalnya berlagak seolah-olah sedang berusaha melindungi puterinya dari orang-orang asing seperti Higgins dan Pickering. Ternyata kedatangan ini lebih karena Alfred berharap untuk mendapatkan uang dari Higgins. Alfred bersedia menukar puterinya dengan uang sebesar lima poundsterling. Higgins terkesan dengan kejujuran Alfred, kata-katanya yang puitis, dan terutama dengan rendahnya moralitas pria ini. Higgins pun merekomendasikan Alfred berpidato untuk seorang Amerika kaya raya di sebuah acara tentang moralitas.

Dengan bersusah payah, akhirnya Eliza pun dapat memperbaiki logatnya yang kampungan. Merasa telah berhasil, Higgins dan Pickering membawa Eliza ke sebuah acara Pacuan Kuda Ascot, di mana kaum elit Inggris biasanya bersosialisasi. Higgins meminta bantuan ibunya untuk memperkenalkan Eliza dengan orang-orang kelas atas. Logat Eliza memang telah membaik, namun tata bahasanya yang masih kampungan membawa kekacauan dalam pertemuan sosial hari itu. Namun pertemuan hari itu menarik Freddy Eynsford-Hill – seorang pemuda kenalan Ny. Higgins, jatuh cinta pada Eliza.

Beberapa minggu kemudian, Higgins dan Pickering membawa Eliza ke pesta dansa kedutaan dengan keyakinan baru, bahwa inilah saatnya untuk menguji keberhasilan pelajaran Eliza. Tak disangka, dalam pesta tersebut hadir pula Zoltan Karpathy, seorang ahli bahasa yang juga pernah menjadi murid Higgins. Pada awalnya, Higgins dan Pickering tidak berani membiarkan Eliza bergaul dengan Karpathy karena takut terbongkar bahwa Eliza bukanlah seorang bangsawan. Namun setelah Eliza berdansa dengan Pangeran, Higgins membiarkan Karpathy mendekati Eliza. Karpathy bun berkesimpulan bahwa tata bahasa Eliza yang terlalu sempurna menandakan bahwa Eliza adalah seorang bangsawan dari luar negeri. Higgins dan Pickering merayakan hal ini sebagai kemenangan, dan orang-orang di sekitar mereka mengakui peristiwa ini sebagai kesuksesan Higgins semata. Sementara kekhawatiran yang baru justru menghampiri Eliza.

Merasa kurang dihargai, Eliza meninggalkan rumah Higgins malam itu juga. Ia diantar Freddy mengunjungi pasar di mana dulu ia berjualan bunga. Namun Eliza merasa kini pasar tersebut bukan tempatnya lagi. Menjelang pagi, Eliza bertemu dengan ayahnya, yang kini sudah mapan dengan kekayaan yang diwariskan si orang Amerika. Alfred akan segera menikah, ia pun mengingatkan Eliza untuk tidak pernah meminta apapun darinya, dan Eliza harus hidup mandiri.

Keributan terjadi di rumah Higgins pada pagi hari. Ia dan Pickering mencoba untuk menemukan Eliza dan melaporkannya ke polisi. Ketika mengunjungi sang ibu untuk meminta nasehat, Higgins justru menemukan Eliza sedang minum teh bersama ibunya. Higgins meminta Eliza untuk kembali, namun Eliza mengutarakan niatnya untuk menikahi Freddy, sekalipun Freddy bukanlah pria yang telah mapan. Dengan percaya diri Eliza mengatakan bahwa saat ini ia tidak lagi bergantung pada Higgins, lagipula, pelajarannya telah selesai.

Higgins kembali ke rumah, dengan sebuah kenyataan yang sedikit menyadarkannya, bahwa ternyata ia merindukan Eliza. Ia pun memutar kembali suara Eliza yang pernah direkamnya ketika pelajaran, dan tanpa disangka, Eliza telah berdiri di samping pintu.

FAKTA TERKAIT

Delapan piala Oscar yang diperoleh My Fair Lady dalam perhelatan Academy Awards tahun 1965 sudah tentu menegaskan kualitas film ini. Dari segi produksi, piala Oscar dianugerahkan untuk kostum terbaik, sinematografi yang menonjol, artistik yang unggul, tata suara terbaik, dan tentu saja untuk sutradara terbaik serta film terbaik. Rex Harrison yang setahun sebelumnya muncul di salah satu film kolosal populer Cleopatra (1963) mendapatkan Oscar untuk perannya sebagai Henry Higgins. Sebuah kesuksesan yang tidak sulit ditebak, mengingat drama musikal My Fair Lady telah lebih dulu sukses – baik secara komersial maupun penerimaan para kritikus – di Broadway dan West End.

Rex Harrison adalah aktor yang pertama kali menghidupkan karakter Higgins dalam musikal ini, sedangkan Eliza Doolittle secara orisinil diperankan oleh Julie Andrews. Penunjukkan Audrey Hepburn sebagai Eliza Doolittle dalam film tahun 1964 ini bukanlah tanpa kontroversi. Produser dari Warner Bross tidak ingin mempertaruhkan kesuksesan komersil film ini pada pendatang baru seperti Andrews, dan mengambil langkah aman dengan memasang Hepburn yang telah terbukti sebagai jaminan box office (Roman Holiday, Sabrina, Breakfast at Tiffany's). Suara Hepburn untuk kebanyakan nomor lagu dalam film ini pun di-dubbing suara penyanyi Marni Nixon. Andrews sendiri pada tahun yang sama didapuk sebagai pemeran utama dalam film garapan Walt Disney: Mary Poppins, dan mendapatkan Oscar sebagai aktris terbaik.

ULASAN OPINI

My Fair Lady adalah film komedi romantis yang ringan dan dapat dinikmati dengan mudah. Pertama kali saya menyaksikan film ini ketika masih duduk di bangku sekolah dasar dan belum mengerti sepatah kata pun dari dialog-dialognya, namun saya sangat menikmati gambar (kostum, latar, akting) dan musiknya. Dengan rating G, saya merekomendasikan film ini untuk dinikmati semua umur. Selain itu, dialog-dialog yang renyah dan lelucon-lelucon sarkastik khas Inggris membuat film yang berdurasi hampir tiga jam ini tetap terjaga kesegarannya. Pada awalnya, My Fair Lady nampak sebagai feel-good-movie yang menjual keindahan dan romantisme semata. Tidak heran jika pesan yang diusung film ini nampak dangkal. Wajar jika transformasi Eliza dari seorang gadis sederhana menjadi seorang lady – bahkan sempat berdansa dengan seorang pangeran – mengingatkan kita pada kisah Cinderella.

My Fair Lady adalah adaptasi musikal dari naskah drama karya Bernard Shaw. Pemilihan judul 'Pygmalion' untuk karya ini adalah sebuah hal yang sangat menarik. Pygmalion adalah tokoh seorang pemuda dalam Mitologi Yunani yang jatuh cinta pada patung yang dipahatnya sendiri, hingga pada suatu hari dewa-dewi yang merasa kasihan menghidupkan patung tersebut, yang akhirnya diberi nama Galatea. Bernard Shaw dengan sangat cerdas mengintepretasikan hubungan antara sang pencipta dengan ciptannya ini ke dalam hubungan antara seorang guru dengan muridnya. Sebuah percakapan Higgins dengan ibunya mengungkapkan betapa Higgins dan Pickering seperti sedang bermain-main dengan sebuah boneka hidup. Mereka mengajari Eliza, mendandani Eliza, menciptakan Eliza yang baru. Sebuah dialog menjelang penghujung film antara Eliza dan Higgins pun mengungkapkan betapa kata-kata yang terucap dari bibir Eliza tak lain karena Higgins lah yang menaruhnya di sana.

Tidaklah sulit untuk menemukan keterkaitan antara mitos Pygmalion dan Henry Higgins. Pada naskah aslinya, Eliza jelas-jelas meninggalkan Higgins dan drama ditutup dengan seruan Higgins: “Oh, Galatea!” Bernard Shaw pun menulis essay mengapa Higgins dan Eliza tidak mungkin bersatu.

Dalam beberapa versi kisah Pygmalion, Galatea yang kini telah hidup memiliki kehendak bebas, bahkan bebas untuk meninggalkan penciptanya sendiri. Eliza yang melalui proses pendidikan telah menjadi manusia yang baru pun memiliki kehendak bebas tersebut, dan ia memilih untuk meninggalkan gurunya. Ada sebuah opini tentang pengajaran yang ideal, bahwa hakikat dari pendidikan tidak hanya impartasi ilmu dan keterampilan, melainkan proses memerdekakan pikiran. Dengan ilmu yang didapat dari proses belajar, seseorang tidak lagi terbelenggu dengan keterbatasan keadaan, namun memiliki kebebasan untuk memilih apa yang terbaik untuknya. Pendidikan telah memberikan sayap bagi tiap orang untuk terbang bebas ke arah tujuannya. Dan bagi Eliza, ilmu tatabahasa itulah sayap barunya.

Dalam film maupun dalam naskah drama aslinya diutarakan bahwa alih-alih bersatu dengan Higgins yang mapan, Eliza justru memilih untuk menikahi Freddy yang belum mapan. Eliza bahkan berencana untuk menyokong kehidupan Freddy. Eliza juga tidak berharap untuk disokong oleh ayahnya yang kini telah kaya raya, melainkan berencana untuk hidup mandiri dengan mengajar tatabahasa dengan berbekal ilmu yang telah diperolehnya dari Higgins. Sangat berbeda dengan sikap tokoh-tokoh wanita dalam beberapa karya sastra abad sebelumnya, Eliza tampil sebagai sosok yang mandiri, di mana ia tidak menggantungkan kesejahteraan hidupnya pada kemapanan laki-laki. Sangat menarik untuk membandingkan Pygmalion dengan novel-novel karya Jane Austen dalam hal kemapanan dan kemandirian ini, dan tidak heran bila mahasiswa-mahasiswa Sastra Inggris mempelajari My Fair Lady sebagai salah satu karya bertema feminisme.

Pada akhirnya, My Fair Lady tidak hanya sebuah film dangkal yang hanya memuaskan mata dan memanjakan telinga, tetapi sebuah pemicu yang baik untuk terbukanya wawasan – baik itu wawasan sejarah, seni, sastra, dsb – dan membuka ruang-ruang diskusi dalam upaya memaknai hakikat pendidikan dan pemikiran feminisme. (nn)

Friday, April 23, 2010

Jasmine Women (2004)


JASMINE WOMEN (Mo Li Hua Kai)

(2004)

Sutradara: Hou Yong

Durasi: 130 menit

Pemain: Zhang Ziyi, Joan Chen

Dengan setting waktu terbentang selama 50 tahun, Jasmine Women menghadirkan tiga kisah tentang tiga generasi wanita RRC dan perjuangan hidupnya: Mo, Li, dan Hua (ketiga suku kata ini membentuk arti ‘bunga melati’). Zhang Ziyi memerankan tiga tokoh wanita yang termuda, sedangkan Joan Chen (The Last Emperor) memerankan dua tokoh yang lebih tua.

PLOT (spoiler allert!)


Film ini dibuka dengan bagian pertama ‘Nenek’ dengan latar Shanghai tahun 1930-an. Mo adalah seorang gadis lugu berusia 18 tahun yang tinggal dengan ibunya di sebuah ruko tempat keluarga mereka membuka usaha studio foto. Kehidupan Mo berubah total ketika seorang sutradara menawarinya main film. Alih-alih menjadi terkenal, Mo malah dihamili sang sutradara dan impiannya kandas bersama takluknya China pada serangan Jepang. Sang sutradara melarikan diri ke Hongkong, meninggalkan Mo yang hamil tua hingga ia terpaksa kembali ke rumah ibunya. Mo menyalahkan bayinya atas nasib buruk yang menimpanya. Setelah ibu Mo meninggal karena bunuh diri, Mo menamai bayi itu Li.


Bagian kedua yang berjudul ‘Ibu’ dilatari suasana komunis di China tahun 1950-an. Li yang telah dewasa lari dari rumah dan menikahi Zou Jie, seorang pekerja rajin dari golongan buruh. Dibesarkan di keluarga kaya membuat Li tak tahan tinggal lama bersama keluarga Zou Jie yang sederhana. Li pun pindah kembali ke rumah ibunya bersama Zou Jie. Namun keharmonisan itu tidak bertahan lama akibat sikap posesif Li dan vonis dokter bahwa Li tidak bisa mengandung. Li dan Zou Jie pun akhirnya mengadopsi seorang anak perempuan dan menamainya Hua. Tetapi sikap posesif Li semakin menjadi dan kecemburuannya berkembang menjadi halusinasi yang memaksa Zou Jie bunuh diri. Li pun kehilangan kewarasannya dan pergi dari rumah, sedangkan Hua terpaksa diasuh oleh Mo.


Bagian ketiga berjudul ‘Anak Perempuan’ berlatar tahun 1980-an. Hua yang bersekolah di luar kota kembali ke rumah Mo dan memperkenalkan Xiao Du sebagai kekasihnya, padahal Mo sendiri lebih menginginkan Hua menikahi anak kenalannya. Sebelum Xiao Du pergi untuk melanjutkan kuliah, Hua dan Xiao Du diam-diam menikah. Mereka menjalani hubungan jarak jauh. Xiao Du jarang pulang, dan ketika Hua akhirnya mengandung, Xiau Du mengajukan perceraian. Sekalipun kini tidak bersuami dan neneknya telah meninggal, Hua memutuskan untuk tetap melahirkan bayinya. Hua mempersiapkan hari persalinannya sebaik mungkin, meskipun akhirnya ia tetap harus melahirkan sendiri di jalanan. Beberapa tahun kemudian, Hua dan anak perempuannya telah menemukan rumah yang baru.

REVIEW

Jasmine Women adalah film perdana Hou Yong sebagai sutradara. Sebelumnya, Hou Yong lebih dikenal sebagai sinematografer (director of photography) yang ikut andil dalam karya-karya sineas Zhang Yimou (Hero, Happy Times, The Road Home) dan Tian Zhuangzhuang (The Blue Kite). Tak heran, Jasmine Women tampil menawan dengan sinematografi apik, dan ketiga bagian film ini memiliki nuansa khasnya masing-masing. Naskahnya sendiri diadaptasi dari novel karya Su Tong (Raise the Red Lantern) yang pertama kali dibaca Hou Yong 10 tahun sebelumnya, dan kala itu dalam benak Hou Yong terbesit aktris kawakan Gong Li sebagai pemeran utamanya.

Dalam wawancara dengan majalah Variety, Hou Yong menjelaskan alasannya memasang Zhang Ziyi untuk memerankan ketiga karakter wanita lintas generasi yang diangkat dalam Jasmine Women, “Saya ingin penonton, melalui ekspresi di mata maupun ulas senyumnya, menemukan sesuatu yang diturunkan dari ibunya dan membiarkan (penonton) berpikir lebih”. Zhang Ziyi sendiri, walaupun dalam film ini masih banyak kekurangannya, meraih Golden Rooster Award sebagai aktris terbaik untuk kerja kerasnya. Mengenai hal ini Hou Yong berkomentar, “…(film ini) menghadirkan (Zhang Ziyi) yang baru, berbeda jauh dari apa yang Anda ingat sebelumnya – teen idol, gadis lugu, gadis pejuang, dsb.”

Jasmine Women menerima cukup banyak kritik positif, walaupun ada juga beberapa komentar pedas yang diterimanya. Penulis sendiri menemukan kenikmatan film ini dari penggambaran era 30-an yang romantik, meskipun jalinan cerita bagian ketiga (tahun 1980-an) agak sulit dicerna secara logis (terutama ketika Hua melahirkan di tepi jalan).

Satu hal yang menarik adalah ketiga karakter wanita lintas generasi yang diceritakan dalam film ini digambarkan sebagai karakter-karakter yang keras kepala, punya kehendak bebas, dan berani mengambil keputusan sendiri. Hal ini cukup tidak lazim mengingat dalam sejarahnya, China adalah bangsa yang kurang memberikan ruang bagi kaum perempuannya untuk bebas mandiri. Dan ketiga karakter ini membuat kesalahan yang sama, yaitu: tidak menuruti nasihat orang tua. Perbedaannya terletak pada bagaimana ketiga karakter tersebut membereskan kembali kehidupannya yang berantakan.

Ada pula yang mengatakan bahwa kesalahan kedua wanita pertama adalah mereka menggantungkan kebahagiaan mereka pada pria-pria dalam hidup mereka. Sedangkan wanita terakhir berani untuk tidak bergantung pada pria demi memperoleh kebahagiaannya. Pendapat ini sejalan dengan semangat feminisme, bahwa eksistensi perempuan bukan ditentukan oleh keberadaan laki-laki. Namun perempuan, layaknya seorang manusia, patut dihargai sebagai dirinya sendiri.

Meskipun bukan film Mandarin terbaik yang pernah disaksikan oleh penulis, Jasmine Women adalah sebuah karya yang cukup unik. Sebagai debut penyutradaraan Hou Yong, Jasmine Women adalah perbandingan yang menarik bagi Raise the Red Lantern besutan Zhang Yimou yang sama-sama diadaptasi dari novel karya Su Tong. Dua film yang tak boleh dilewatkan ketika kita membicarakan feminisme. (nn)